Potensi Pengembangan Bioetanol
Jual Enzim Alfa Amylase, Gluco Amylase, Selulase, Pectinase
Telp. 087731375234
Bioetanol
adalah merupakan etanol (etil alkohol) yang proses produksinya menggunakan
bahan baku alami dan proses biologis. Sedangkan etanol sintetik diperoleh dari
sintesis kimiawi senyawa hidrokarbon. Etanol yang digunakan sebagai bahan bakar
kendaraan memiliki struktur kimia yang persis sama dengan etanol yang ditemukan
pada minuman keras. Etanol yang digunakan untuk bahan bakar disebut dengan Fuel
Grade Ethanol (FGE) dengan tingkat kemurnian 99.5%.
Rumus
molekul etanol adalah C2H5OH atau rumus empiris C2H6O atau rumus bangunnya
CH3-CH2-OH. (Bio)Etanol merupakan bagian dari kelompok metil (CH3-) yang
terangkai pada kelompok metilen (-CH2-) dan terangkai dengan kelompok hidroksil
(-OH). Secara umum akronim dari (Bio)Etanol adalah EtOH (Ethyl-(OH)). (Bio)Etanol
tidak berwarna dan tidak berasa tapi memilki bau yang khas. Bahan ini dapat
memabukkan jika diminum. Karena sifatnya yang tidak beracun bahan ini banyak
dipakai sebagai pelarut dalam dunia farmasi dan industri makanan dan minuman.
Saat ini
(Bio)Etanol dipakai secara luas di Brazil dan Amerika Serikat. Semua kendaraan
bermotor di Brazil, saat ini menggunakan bahan bakar yang mengandung paling
sedikit kadar ethanol sebesar 20 %. Pertengahan 1980, lebih dari 90 % dari
mobil baru, dirancang untuk memakai (Bio)Etanol murni. Di Amerika Serikat,
lebih dari 1 trilyun mil telah ditempuh oleh kendaraan bermotor yang
menggunakan BBM dengan kandungan (Bio)Etanol sebesar 10 % dan kendaraan FFV
(Flexible Fuel Vehicle) yang menggunakan BBM dengan kandungan 85 % (Bio)Etanol.
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar, sebenarnya telah lama dikenal.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa pada tahun 1880-an Henry Ford membuat
mobil quadrycycle dan sejak tahun 1908 mobil Ford model T telah dapat
menggunakan (Bio)etanol sebagai bahan bakarnya. Namun penggunaan bioetanol
sebagai bahan bakar nabati kurang ditanggapi pada waktu tersebut, karena
keberadaan bahan bakar minyak yang murah dan melimpah. Saat ini pasokan bahan
bakar minyak semakin menyusut ditambah lagi dengan harga minyak dunia yang
melambung membuat (Bio)Etanol semakin diperhitungkan.
(Bio)Etanol
dapat digunakan pada kendaraan bermotor, tanpa mengubah mekanisme kerja mesin
jika dicampur dengan bensin dengan kadar (Bio)Etanol lebih dari 99,5%.
Perbandingan (Bio)Etanol pada umumnya di Indonesia baru penambahan 10% dari
total bahan bakar. Pencampuran (Bio)Etanol absolut sebanyak 10 % dengan bensin
(90%), sering disebut Gasohol E-10. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin)
dan (Bio)Etanol. (Bio)Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan
Premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau
setara Pertamax. Pada komposisi ini bioetanol dikenal sebagai octan enhancer
(aditif) yang paling ramah lingkungan dan di negara-negara maju telah menggeser
penggunaan Tetra Ethyl Lead (TEL) maupun Methyl Tertiary Buthyl Ether (MTBE).
Bahan baku
yang digunakan untuk produksi bioetanol dapat menggunakan glukosa. Gula
(glukosa) merupakan bentuk bahan baku yang paling sederhana dengan rumus kimia
C6H12O6 , berbeda dengan pengertian gula sehari-hari yang
mengandung sukrosa, laktosa dan fruktosa. Gula dapat diperoleh dari tebu (sugar
cane) melalui hasil sampingan produksinya berupa tetes (molases). Sebagai bahan
baku bioetanol, glukosa dapat langsung digunakan dalam proses pembuatan
bioetanol.
Glukosa
dapat dihasilkan dari bahan yang mengandung pati tinggi seperti jagung, singkong, sagu dan umbi-umbian lainnya yang
mengandung karbohidrat. Rumus kimia dari pati adalah (C6H10O5)n
dengan jumlah n antara 40 – 3.000. Sebagai bahan baku bioetanol, pati
membutuhkan proses untuk memecah ikatan kimianya menjadi glukosa. untuk memecah
pati menjadi glukosa digunakan enzim alfa amylase dan gluco amylase. Enzim alfa
amylase berperan untuk proses likuifikasi yaitu memecah pati menjadi dekstrin,
sedangkan gluco amylase berfungsi memecah dekstrin menjadi glukosa
(sakarifikasi) yang memiliki rasa manis. Penggunaan bahan pati sebagai bahan
baku bioetanol secara umum akan bersaing dengan cadangan pangan bagi manusia,
yang pada akhirnya akan meningkatkan harga bahan pangan.
Bahan baku
pembuatan bioetanol juga bisa dengan memanfaatkan biomasa berasal dari
selulosa. Selulosa merupakan polisakarida dengan rumus kimia (C6H10O5)n,
dengan jumlah n ribuan hingga lebih dari puluhan ribu, yang membentuk dinding
tanaman dan kayu. Selulosa merupakan senyawa organik yang paling banyak
jumlahnya di muka bumi. Sekitar 1/3 komposisi tanaman adalah selulosa yang
tidak tercerna oleh manusia. Karena tidak bersaing dengan bahan pangan, maka
selulosa diperkirakan akan mendominasi bahan baku bioetanol di masa mendatang.
Sebagai bahan baku bioetanol, selulosa membutuhkan pengolahan awal yang lebih
intensif dibandingkan dengan bahan baku lain. Bahan mengandung selolase
diantaranya jerami padi, kulit kacang, tongkol jagung, dan lain-lain.
Bahan-bahan tersebut ketersediaannya cukup melimpah yang masih belum
dimanfaatkan secara baik untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis tinggi.
Bahan tersebu sebelum diproses sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu, kemudian
digiling menjadi tepung.
Untuk
melakukan proses hydrolysis (merubah struktur selulosa menjadi glukosa) dapat
ditempuh menggunakan penambahan asam yang dilarutkan pada suhu dan tekanan
tinggi. Proses tersebut membutuhkan energi yang cukup besar sehingga net energy
gain yang dihasilkan menurun. Selain itu kondisi yang asam akan menggangu
proses fermentasi lanjutan, sehingga dibutuhkan proses perantara untuk
menetralkan keasaman. Selain cara tersebut, juga dapat dilakukan dengan
menggunakan enzim celulose, melalui proses pemanasan maka bahan selulosa
tersebut dengan penambahan enzim celelose dan air, maka dihasilkan glukosa yang
selanjutnya difermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae.
Bahan baku
harus melalui proses pre-treatment dengan tujuan untuk meningkatkan kandungan
glukosa bahan semaksimal mungkin sebelum memasuki tahap fermentasi. Kandungan
glukosa ditingkatkan dengan merubah bentuk gula kompleks (polisakarida) menjadi
gula sederhana. Proses pre-treatment sangat bergantung dari tipe bahan baku
yang digunakan. Proses produksi bioetanol dilakukan melalui proses fermentasi
yang menghasilkan alkohol dengan kadar rendah. Proses fermentasi merubah bahan
baku glukosa menjadi alkohol dan residu karbon dioksida. Pada proses tersebut
dibutuhkan bantuan ragi saccharomyces cerevisae dengan persamaan kimia sebagai
berikut:
C6H12O6
→ 2 CH3CH2OH + 2 CO2
Proses
fermentasi menghasilkan alkohol dengan kadar maksimal hanya 7 – 9% ( 15% jika
menggunakan strain ragi yang paling tahan alkohol). Untuk meningkatkan kadar
etanol hingga mencapai Fuel Grade Ethanol (FGE) 99.5% dibutuhkan proses
penyulingan (distillation) dan dehidrasi (dehydration). Proses penyulingan akan
menghasilkan etanol dengan kadar maksimum 95.6% dan tidak bisa ditingkatkan
lagi karena sifat azeotrope larutan etanol-air.
Untuk
meningkatkan konsentrasi etanol hingga mencapai FGE dilakukan proses dehidrasi
dengan beberapa metode antara lain:
1. Azeotropic Distillation
Penambahan
benzene pada larutan alkohol-air untuk menghilangkan sifat larutan azeotrope.
Dibutuhkan proses tambahan untuk memisahkan benzene dari larutan alkohol.
2. Molecular Sieve
Penambahan
zat adsorbent untuk memerangkap air dari larutan etanol-air. Zat adsorbent yang
jamak digunakan antara lain zeolite. Dalam proses yang lebih sederhana dapat
digunakan kapur gamping (CaO) bubuk yang dilarutkan dalam larutan etanol-air.
3. Membrane Pervaporation
Proses
pervaporation menggunakan membran porous atau non-porous untuk memfilter fase
gas dari larutan azeotrope alkohol-air. Proses ini diklaim mengonsumsi energi
relatif rendah karena memanfaatkan tekanan dan suhu rendah.
Tidak ada komentar: